Bila Anda masuk ke Kota Semarang dari arah Selatan, Anda akan melewati Tanjakan "Gombel". Nama "Gombel" menurut sejarah muncul saat Kiai Pandan Aran berziarah di sebuah makam di Gunung Jabalkat.
Tokoh yang kini namanya diabadikan untuk sebuah jalan protokol di Kota Semarang itu saat berziarah melewati tanjakan terjal dan curam. Saat itu tanjakan Gombel konon sulit untuk dilewati karena permukaannya yang berbukit.
Namun, sampai saat ini belum ada petunjuk yang menjelaskan sebab musabab pemberian nama Gombel itu. Saat jaman penjajahan, seorang Doktor Belanda, Dr.W.T.de Vogel mengusulkan pada pemerintah Belanda untuk mengembangkan daerah Semarang Selatan.
Sebab, saat itu pengembangan Kota Semarang oleh Belanda hanya bagian utara dan sekitarnya. Sedangkan daerah selatan adalah daerah perbukitan yang kurang terjamah. Rencana pembangunan itu ditentang oleh masyarakat asli Tionghoa Kota Semarang.
Pasalnya, di wilayah Gunung Jabalkat yang kini dikenal kawasan Bukit Gombel Semarang itu banyak dipakai sebagai area kuburan pengganti area kuburan Pekojan.
Sebab, sesuai adat Cina memindahkan jenazah bukanlah hal yang bisa seenaknya dilakukan. Akhirnya, penguasa wilayah saat penjajahan Belanda, Mr. Baron van Heeckeren mengusulkan kuburan di sekitar tanjakan Gombel itu khusus bagi kerabat dekat yang sudah dikubur di situ.
Pada saat ini kawasan tersebut adalah kawasan Kedungmundu. Pemekaran Semarang bagian Selatan dimulai pada tahun 1909. Berdalih permasalahan pemenuhan kebutuhan permukiman.
Thomas Karsten (1914) Gubernur Belanda yang merupakan ahli arsitek menyatakan Semarang Selatan merupakan salah satu kawasan yang terencana. Perencanaan tersebut saat itu digunakan untuk mengatasi masalah kesehatan & memperbaiki lingkungan permukiman.
Tahun 1916, Semarang Selatan mulai berkembang diawali oleh kawasan Candi Baru. Saat itu, permukimannya sangat dipengaruhi oleh arsitektur Eropa. Pada tahun 1920-an mulai muncul perumahan di area Bukit Gombel.
Letak permukiman di sana menyesuaikan kondisi alam yang ada dengan keadaan topografi yang berbukit. Selain itu, pemandangan yang menarik dan indah menghadap ke arah laut di sebelah utara sekaligus pemandangan landscape kota Semarang menjadi daya tarik pembangunan permukiman di Gombel.
Namun, dari situ timbul dampak negatif dikarenakan ekosistem yang terganggu akibat eksploitasi kawasan. Pada saat hujan daerah Semarang bawah sering banjir sebagai akibat dari air kiriman yang berasal dari Semarang atas, termasuk Gombel.
Selain itu, daerah Gombel juga sering terjadi longsor. Sebenarnya longsor di Gombel bukan hal yang baru. Dulu, pada tahun 1929 ruas Jalan Gombel Lama sempat terputus karena adanya longsor tanah di daerah Watugoreh, Gombel.
Sebagai tindak lanjut dari masalah terputusnya jalan tersebut, pada tahun 1934 pihak Belanda membuat jalan baru yaitu Jalan Setiabudi. Saat ini ruas tersebut dikenal dengan Jalan Gombel Baru dan memanjang sampai ke daerah Ada Setiabudi.
Sejak pembangunan jalan itu, kawasan Gombel Baru mulai ramai dengan permukiman penduduk. Dari situlah asal mulanya Gombel yang terbagi menjadi Gombel Lama dan Gombel Baru yang dipisahkan oleh hutan kecil.
Terkait:
Advertisement